Sunday, February 10, 2019

DJENAR MAESA AYU

Waktu kecil, saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi penulis. Sepertinya memang karena kultur keluarga yang berkecimpung di dunia seni. Sejak SD, sudah suka menulis cerpen yang sifatnya imajinatif. Saya lebih suka mengungkapkan perasaan dan pikiran saya melalui medium tekstual, dibanding lisan. Seiring bertumbuh dewasa, setiap karya saya jadi, ada keinginan untuk tahu apakah disukai oleh orang, dan diapresiasi dengan baik. Lantas saya kirim karya-karya ke media, walaupun memang sempat ditolak berkali-kali. Sekarang saya penulis, filmmaker, serta artis pemeran, tapi tidak lupa untuk menjadi ibu dan nenek yang harus bangun pagi untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah. Saat ini lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga, daripada sibuk bekerja. Bahkan hal yang menjadi sebuah kewajiban di rumah itu momong cucu. 

Melalui menulis, saya nggak cuma sekedar membuat orang menikmati alur cerita atau gaya bahasanya, tetapi mulai mengajak berpikir untuk mendalami tentang apa-apa saja yang ditawarkan. Tema dalam hidup ini pun tidak ada yang baru, semuanya mapan. Nah, tugas seorang penulis adalah membuat tema-tema tersebut menjadi sesuatu yang segar. Saya pribadi mengambil suatu tema tentunya dari apa yang saya lihat. Dengan gaya bahasa yang langsung menyentuh batin, bisa ada sesuatu yang dikerjakan, dan mudah-mudahan diterima. 

Saya gemar menuangkan sisi-sisi keberanian feminis yang berbeda, terutama dalam bentuk visual. Tidak ada rasa segan untuk masukin tema-tema krusial seksualitas, seperti dunia seks, dan sejumlah tema perempuan yang selama ini masih jarang dijamah penulis lain. Tiap karya saya terbit, selalu disertai kontroversi dan kritikan pedas. Banyak karya saya yang mendobrak tabu dan tak jarang dinilai vulgar. Namun itu tidak, menjadi halangan untuk mengekspresikan pemikiran saya. Toh banyak yang bilang karya saya mencerahkan, karena setiap pembaca pasti membutuhkan diskusi tentang hal-hal yang selama ini selalu dianggap tabu. 

Kalau berbicara tentang seks, itu hanya perbedaan jenis kelamin secara biologis. Sedangkan gender, lebih ke perbedaan yang dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat. Kesetaraan gender sendiri muncul karena ketidakadilan pembedaan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan seringkali dimarjinalkan, dianggap kaum lemah. Nggak usah jauh-jauh, dari pengalaman saya sendiri saja sebagai perempuan. Digugat cerai suami bukan hal yang mudah. Jujur, perasaan saya bercampur aduk sewaktu itu. Banyak orang yang di sekitar saya mengira bahwa saya tidak akan kuat menjadi single parent. Tugas-tugas perempuan dianggap berat, apalagi tanpa adanya bantuan dari seorang suami. Perempuan dipercaya tidak boleh memiliki beban ganda, atau tanggung jawab yang berlebihan. Mereka berpikir bahwa menafkahi keluarga hanyalah tugas seorang suami. Tapi buktinya, tanpa pembantu, saya bisa menjalankan peran ganda, yaitu sebagai wanita karir, serta ibu rumah tangga. Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik. Akhirnya, saya pun dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik dan bersedia mendampingi hidup saya. 

Banyak orang yang bilang saya itu penulis yang melawan ketabuan. Ya, memang itu adalah hal yang paling penting untuk dibicarakan. Misalnya, tentang seks. Ketika seks ditabukan, orang jadi mendapat informasi yang salah, sehingga terjadilah kekerasan seksual. Banyak masyarakat yang berpikir kalau perempuan itu makhluk lembut yang feminim. Mereka pikir perempuan tidak patut bicara tentang seks. Padahal, itu justru membuat korban pelecehan semakin banyak. Ini karena perempuan nggak tahu bahwa mereka juga punya hak untuk bilang “tidak”. Ibu saya selalu berkata bahwa semua perempuan memiliki kebebasan hidup. Namun dibalik itu, mereka harus tahu resiko-resikonya. Banyak orang tua yang tidak berhasil mendidik anak perempuannya tentang seksualitas sejak dini. Lalu terjadilah kebobolan hamil, yang disertai dengan rasa takut, sehingga diam-diam melakukan aborsi karena tidak siap. Kalau sudah begitu, masyarakat sekitar justru menyalahkan kaum perempuan yang selalu dicap negatif. 

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sadar kebanyakan laki-laki juga ambigu dalam berbicara soal seks. Di satu sisi, mereka mau perempuan memuaskan mereka, perempuan yang baik dan menyerahkan diri. Tapi disisi lain mereka butuh perempuan yang lebih agresif. Ketika perempuan melakukannya, mereka akhirnya menganggap dia pasangan yang tidak baik. Laki-laki harus lebih adil pada perempuan dan berhenti memposisikan dirinya sebagai penentu dan penilai. Lewat cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet”, saya membahas penindasan terhadap perempuan, serta pelecehan yang dialami oleh tokoh utama, secara lugas dan vulgar. Disini saya ingin menegaskan bahwa perempuan bukanlah objek seksualitas laki-laki.

Segala hal yang tabu saya tumpah ruahkan melalui buku-buku saya. Seringkali saya bilang kalau saya bukan seorang “feminist” tapi “humanist”. Kalau ingat kutipan “Lantas apa yang salah dengan pelacur? Adakah orang yang menulis di buku catatannya, cita-cita: peacur. Mana yang lebih pantas dipertanyakan, takdir atau pelacur? Pasti ngerti. Saya sadar, pekerjaan pelacur memang menyimpang dan tidak mulia. Tapi, memangnya kita punya hak untuk menghakimi mereka? Bukan membela para pelacur, tapi emang ada seseorang yang bercita-cita menjadi pelacur? Kan nggak. Ya, manusia boleh berencana, bercita-cita, bermimpi, tapi semua itu takdir di tangan tuhan.

Melalui cerpen “Air”, saya membahas mengenai nasib seseorang perempuan yang murung. Disini saya jelaskan secara lugas, perempuan yang ditinggal calon ayah dari bayinya, karena laki-laki tersebut merasa ia masih terlalu muda untuk mempunyai anak. Inilah yang membuat perempuan tersebut menanggung semua resiko seorang diri bekerja keras. Namun tempat bekerjanya pun tidak menerima begitu saja, dengan alasan seorang PSG tidak dapat dalam keadaan hamil. Perempuan itu memutuskan untuk melahirkan anaknya melalui operasi., karena alasan uang. “Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan besar. Kami tidak bisa memperkerjakan PSG yang sedang hamil”. Kutipan ini menunjukkan bahwa perempuan yang sedang hamil tidak leluasa untuk mencari pekerjaan. Perempuan tersebut mengalami sebuah ketidakadilan yang berakar dari keterbatasan hukum, yakni dari publik. Perempuan yang tidak memiliki kemampuan intelektualitas dan fisik dianggap tidak layak diberi pekerjaan atau peran. 

Mungkin penonton dan pembaca berpikir, kok tema nya perempuan terus sih. Tapi menurut saya itu penting dan harus saya suarakan. Saya tidak peduli, selagi saya masih hidup, saya tahu persis bagaimana sulitnya menjadi seorang perempuan. Banyak sekali kegelisahan dan ketidakadilan yang patut diutarakan. Lewat novel-novel lain, saya juga berinisiatif untuk membenarkan hal tersebut. Banyak yang bilang karya saya disukai karena lugas, mengalir dan mampu membawa pembaca ke ranah-ranah kelam kehidupan dengan penuh imajinasi. Sengaja, saya selalu menulis dengan penuh metafora, alegori, ironi, serta hiperbola. Memang, membaca cerita tidak hanya membutuhkan mata yang terbuka, namun juga pemikiran dan wawasan yang tajam, untuk dapat mengerti maknanya.